THIS ADS by GOOGLE
Video itu merupakan bagian dari kampanye jenama kosmetik asal Jepang, SK-II. Dengan pendekatan dokumenter, video itu berusaha menampilkan kultur masyarakat Tiongkok, yang kerap mendiskreditkan perempuan lajang berusia 27 tahun ke atas.
Mashable menulis, video itu bertujuan mengingatkan para perempuan Tiongkok bahwa pilihan melajang merupakan hal normal --bahkan bila itu bertentangan dengan kebiasaan masyarakat.
Hal senada diakui Presiden SK-II, Markus Strobel. Dilansir BBC, Strobel menyebut video itu sebagai: "kampanye global untuk menginspirasi dan memberdayakan perempuan guna membentuk takdirnya sendiri."
"Dia tidak cantik. Itulah sebabnya dia menjadi seorang 'perempuan sisa'," begitu testimoni seorang ibu dalam video tersebut. Kontras, sebab testimoni itu disampaikan di samping putrinya yang tengah menahan air mata.
Video itu lantas berfokus pada fenomena "Pasar Pernikahan" (Marriage Market) di Tiongkok. Pasar itu biasa berlangsung di ruang publik, para orang tua akan mengiklankan anak mereka yang belum menikah guna mendapatkan pasangan.
Klimaksnya, saat sejumlah perempuan lajang menyelipkan pesan dalam iklan yang dipasang orang tua mereka di Pasar Pernikahan.
"Saya tidak ingin menikah hanya demi (tuntutan) pernikahan. Saya tidak akan bahagia dengan cara itu," demikian bunyi salah satu pesan tersebut.
Tentang "Perempuan Sisa"
Mengutip laporan The New York Times, di Tiongkok, istilah "Perempuan Sisa" ("Sheng Nu") kerap ditempel kepada perempuan lajang berusia 27 tahun ke atas.
Kata itu terkesan merendahkan, sebab "Sheng" juga dipakai untuk menggambarkan "makanan sisa." Pada 2007, Departemen Pendidikan Tiongkok membakukan "Sheng Nu." Media pemerintah juga turut menggunakan istilah tersebut.
Federasi Segenap-Perempuan Tiongkok --organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Partai Komunis Tiongkok-- kerap mendiskreditkan perempuan lajang, dengan menggunakan istilah tersebut.
Menurut BBC, sejak tahun 2007, pemerintah Komunis Tiongkok mendorong perempuan lajang untuk menikah. Hal itu dilakukan guna memperbaiki ketidakseimbangan gender, yang disebabkan berakhirnya kebijakan satu anak di sana.
Sensus nasional Tiongkok 2010, menunjukkan bahwa populasi laki-laki di negara itu sekitar 33 juta lebih banyak dibanding perempuan. Huffington Post menyebut, ketimpangan populasi itu membuat para "Perempuan Sisa" kian terpojok.
Di sisi lain, Long Fincher --penulis buku Perempuan sisa: Bangkitnya Ketidaksetaraan Gender di Tiongkok-- menyebut bahwa dewasa ini mulai muncul perlawanan dari para perempuan lajang.
Mereka mengadopsi gaya hidup mandiri dan berusaha melawan stigma. "Perempuan Tiongkok sekarang lebih berpendidikan dari sebelumnya, dan semakin banyak dari mereka yang menolak menikah," kata Ficher, dilansir BBC.
Indonesia dan "Kapan Kawin?"
Dari video viral ihwal "Perempuan Sisa" ada satu pengakuan menarik.
"Perayaan tahun baru Imlek, adalah salah satu momen penuh ketegangan (stressfull), karena setiap orang akan bertanya: kenapa kamu belum/tidak menikah?" demikian bunyi pengakuan itu.
Rasa-rasanya, momen macam itu juga terjadi di Indonesia. Terutama saat perayaan hari besar agama, yang menjadi ajang pertemuan keluarga. Dalam momen macam itu, perempuan atau laki-laki lajang (yang dianggap layak menikah, biasanya 25 tahun ke atas) akan mendapat pertanyaan: "Kapan Kawin?"
"Kapan Kawin" a la Indonesia, jelas tak setaraf "Perempuan Sisa" --yang disponsori pemerintah Tiongkok. Namun, keduanya berasal dari pandangan yang sama: menikah adalah bagian yang mesti dilalui dalam hidup.
Pun "Kapan Kawin" boleh jadi terasa bak teror bagi sebagian orang. Setidaknya itu yang terekam dalam beberapa kicauan yang kami angkut dari linimasa Twitter.
Baca Lebih Lengkap di Halaman Selanjutnya:
THIS ADS by GOOGLE
Halaman Berikutnya:

0 Response to "Video viral ''Perempuan Sisa'' dan teror ''Kapan Kawin?''"
Post a Comment