THIS ADS by GOOGLE
Dengan wajah yang sangat riang, Oki Sinawati Solikhah membuka pintu rumahnya seraya mempersilakan kami untuk masuk ke rumahnya.

Namun kami memilih untuk duduk-duduk saja di teras rumahnya sembari menunggu ibunda Oki pulang dari ladang.
“Ibu masih di ladang, tunggu ya, sebentar lagi pulang,” ujar remaja 14 tahun itu di depan pintu.
Kami harus berjongkok ketika berbicara dengan Oki. Sebab Oki tidak bisa berdiri. Kakinya hanya bisa bersila. Kalau berjalan, Oki menyeret kaki dan badannya di lantai.
Kami bertanya dengan Oki, apakah dia biasa sendiri di rumah jika bapak dan ibunya pergi ke sawah. Dengan lugas, Oki menjawab bahwa ia berani tinggal di rumah sendiri.

Namun kami memilih untuk duduk-duduk saja di teras rumahnya sembari menunggu ibunda Oki pulang dari ladang.
“Ibu masih di ladang, tunggu ya, sebentar lagi pulang,” ujar remaja 14 tahun itu di depan pintu.
Kami harus berjongkok ketika berbicara dengan Oki. Sebab Oki tidak bisa berdiri. Kakinya hanya bisa bersila. Kalau berjalan, Oki menyeret kaki dan badannya di lantai.
Kami bertanya dengan Oki, apakah dia biasa sendiri di rumah jika bapak dan ibunya pergi ke sawah. Dengan lugas, Oki menjawab bahwa ia berani tinggal di rumah sendiri.
Ia tidak kesulitan kalau harus mengambil makan atau menyalakan radio kegemarannya.
“Ya, sendiri. Kalau makan tinggal ambil saja karena sudah disiapkan ibu di meja,” tuturnya tersenyum.
Tidak lama kemudian sang ibu, Marsinah (50), tiba di rumahnya yang terletak di Dusun Brojolepo 01, Desa Sukorejo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu.
Mbok Nah, panggilan akrab Marsinah, bergegas meletakkan caping (topi anyaman bambu) di samping rumah, lalu mempersilakan kami duduk di dalam rumah.
Kali ini kami masuk ke dalam rumahnya yang sederhana itu, kemudian berbincang dengan Mbok Nah.
Oki pun mengikuti langkah kami lalu duduk di lantai di dekat kursi yang diduduki ibunya.
Namun, saat kami mulai berbincang, tiba-tibaba-tiba Oki bergegas masuk ke kamarnya lalu mengecilkan volume radio yang sedari tadi terdengar cukup keras.
“Kalau pun boleh minta, siapapun tidak ingin memiliki anak seperti Oki. Tapi gusti Allah itu Maha Kuasa, kita harus menerimanya dengan ikhlas,” tutur Mbok Nah mengawali perbincangan kami siang itu, Kamis (20/4/2017).
“Ya, sendiri. Kalau makan tinggal ambil saja karena sudah disiapkan ibu di meja,” tuturnya tersenyum.
Tidak lama kemudian sang ibu, Marsinah (50), tiba di rumahnya yang terletak di Dusun Brojolepo 01, Desa Sukorejo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu.
Mbok Nah, panggilan akrab Marsinah, bergegas meletakkan caping (topi anyaman bambu) di samping rumah, lalu mempersilakan kami duduk di dalam rumah.
Kali ini kami masuk ke dalam rumahnya yang sederhana itu, kemudian berbincang dengan Mbok Nah.
Oki pun mengikuti langkah kami lalu duduk di lantai di dekat kursi yang diduduki ibunya.
Namun, saat kami mulai berbincang, tiba-tibaba-tiba Oki bergegas masuk ke kamarnya lalu mengecilkan volume radio yang sedari tadi terdengar cukup keras.
“Kalau pun boleh minta, siapapun tidak ingin memiliki anak seperti Oki. Tapi gusti Allah itu Maha Kuasa, kita harus menerimanya dengan ikhlas,” tutur Mbok Nah mengawali perbincangan kami siang itu, Kamis (20/4/2017).
Mbok Nah menceritakan, anak bungsunya itu lahir 14 tahun lalu di rumah melalui pertolongan bidan. Semula, tidak ada yang berbeda selama kehamilan sampai Oki lahir.
Kejanggalan terjadi ketiga Oki berusia 9 bulan. Usai imunisasi campak, badan Oki panas tinggi sampai kejang-kejang. Oki bayi terus rewel.
“Sejak itu Oki gampang sakit, rewel terus. Sudah saya bawa ke dokter, ke mana-mana, tapi tidak ada hasil. Bahkan lebih parah. Kakinya Oki tidak bisa digerakkan sendiri. Kalau kata dokter ada kelainan pada tulangnya,” ujar Mbok Nah.
Sejak itu, Mbok Nah biasa menggendong Oki saat bepergian, terutama saat hendak menghadiri pengajian-pengajian di lain desa atau kecamatan bahkan luar kota.
Dalam sebulan, dia bisa 3 sampai 5 kali mendatangi majelis-majelis pengajian agama Islam ke luar desanya.
Saking rajinnya, ustaz pengisi pengajian hafal dan kerap merindukan Oki jika tidak hadir.
“Kalau pas saya datang sendirin Pak Kiai suka nanyain Oki. Sampai orang gila di pinggir jalan saja hafal sama saya dan Oki, kalau saalau saya nggak datang dia (orang gila) suka nanya kok saya kemarin nggak datang kenapa, ha-ha-ha,” kata Mbok Nah tertawa sambil menatap Oki.
Kejanggalan terjadi ketiga Oki berusia 9 bulan. Usai imunisasi campak, badan Oki panas tinggi sampai kejang-kejang. Oki bayi terus rewel.
“Sejak itu Oki gampang sakit, rewel terus. Sudah saya bawa ke dokter, ke mana-mana, tapi tidak ada hasil. Bahkan lebih parah. Kakinya Oki tidak bisa digerakkan sendiri. Kalau kata dokter ada kelainan pada tulangnya,” ujar Mbok Nah.
Sejak itu, Mbok Nah biasa menggendong Oki saat bepergian, terutama saat hendak menghadiri pengajian-pengajian di lain desa atau kecamatan bahkan luar kota.
Dalam sebulan, dia bisa 3 sampai 5 kali mendatangi majelis-majelis pengajian agama Islam ke luar desanya.
Saking rajinnya, ustaz pengisi pengajian hafal dan kerap merindukan Oki jika tidak hadir.
“Kalau pas saya datang sendirin Pak Kiai suka nanyain Oki. Sampai orang gila di pinggir jalan saja hafal sama saya dan Oki, kalau saalau saya nggak datang dia (orang gila) suka nanya kok saya kemarin nggak datang kenapa, ha-ha-ha,” kata Mbok Nah tertawa sambil menatap Oki.
Bagi Mbok Nah, menghadiri pengajian adalah kegiatan yang menyenangkan meski harus bersusah-payah.
Ia sejenak meninggalkan pekerjaannya mencari nafkah untuk menimba ilmu agama sebanyak mungkin.
Ia juga senang bisa bertemu dengan orang-orang baru dari berbagai daerah, yang sama-sama menghadiri pengajian tersebut. Setiap naik angkot, Mbok Nah menghabiskan ongkos antara Rp 10.000 – Rp 20.000 pulang pergi.
Meski fotonya viral di media sosial, Mbok Nah sama sekali tidak mengetahuinya.
Ia tidak tahu bahwa ternyata ada orang yang memotretnya di jalan lalu diunggah di media sosial.
“Wah, saya tidak tahu (fotonya di Facebook). Kalau mau pengajian saya memang suka ajak dia, saya gendong karena dia kan tidak bisa jalan. Ta’ gendong sampai pertigaan (pangkalan angkot) lalu naik angkot,” ungkap Mbok Nah.
Ia sejenak meninggalkan pekerjaannya mencari nafkah untuk menimba ilmu agama sebanyak mungkin.
Ia juga senang bisa bertemu dengan orang-orang baru dari berbagai daerah, yang sama-sama menghadiri pengajian tersebut. Setiap naik angkot, Mbok Nah menghabiskan ongkos antara Rp 10.000 – Rp 20.000 pulang pergi.
Meski fotonya viral di media sosial, Mbok Nah sama sekali tidak mengetahuinya.
Ia tidak tahu bahwa ternyata ada orang yang memotretnya di jalan lalu diunggah di media sosial.
“Wah, saya tidak tahu (fotonya di Facebook). Kalau mau pengajian saya memang suka ajak dia, saya gendong karena dia kan tidak bisa jalan. Ta’ gendong sampai pertigaan (pangkalan angkot) lalu naik angkot,” ungkap Mbok Nah.
Baca Lebih Lengkap di Halaman Selanjutnya:
THIS ADS by GOOGLE
Halaman Berikutnya:
0 Response to "Rutin Datangi Pengajian dengan Segala Keterbatasan, Mbok Nah Bahkan tak Tahu Fotonya Viral"
Post a Comment